OK, saya tanggapi.
Pertama, resep bukan surat perintah tetapi
permintaan (Silahkan dicek di Scoville atau Remington). Namanya permintaan, bisa diberi atau tidak khan? Kalau diberi, bisa ditawar khan? Misal anda di kantin pesan nasi campur lauk telor dadar. Kalo telur dadar tidak ada, mungkin petugas kantin menawarkan telur mata sapi sebagai gantinya. Apakah anda mau? Terserah anda khan? Kalo si petugas kantin tadi tidak mengkomunikasikan hal itu pada anda, tahu2 anda dikasih ikan tongkol sebagai gantinya. Anda bisa komplain khan? Jadi jelas, petugas kantin tadi bukan bawahan anda atau sub ordinat anda.
Kedua, Saya tidak sependapat dgn pernyataan bahwa dokter hanya diagnosis dan farmasis yg menentukan obatnya. Ada berbagai alasan :
1) Jumlah farmasis yg berpraktek jauh lebih sedikit dibanding dokter praktek; jelas ini akan menghambat proses pengobatan (birokrasi terlalu panjang). Apalagi jika farmasis tidak ada di tempat.
2) Kompetensi farmasis perlu dipertanyakan. Benarkah kita menguasai semua permasalahan tentang obat? Benarkah pengetahuan "obat" kita up to date? Dokter terbagi ke dalam berbagai spesialisasi (kolegium) & selalu meng-update kompetensinya (termasuk farmakoterapi-nya) secara rutin melalui pendidikan berkelanjutan IDI. Secara kualitatif & kuantitatif, ISFI jelas kalah dalam hal ini. Benarkah kita mampu "melayani" atau "memberikan" informasi obat kepada dr anak, dr jantung, dr mata, dr paru, dll.
Ketiga, Saya lebih suka memakai istilah : kita (farmasis) "bekerjasama" dgn dokter (& tenaga kesehatan lain) untuk mencapai luaran terapi yg optimal bagi pasien, seperti yg diamanatkan pharmaceutical care. Jangan lupa, DRPs (Drug Related Problems) tidak selalu akibat kesalahan dokter. Kita pun bisa "berkontribusi" dalam DRPs, contoh yg paling sederhana adalah kesalahan membaca resep atau salah mengambilkan obat (terutama jika obat kita disimpan menurut alfabet, bukan kelas terapi).
Singkatnya, kita boleh bekerjasama dgn dokter. Tapi ingat, semata2 untuk kepentingan pasien; atau menguntungkan pasien. Bukan menguntungkan dokter dan farmasis saja atau dokter dan industri farmasi saja. Sayangnya, industri farmasi selalu dikaitkan dgn farmasis. Seakan-akan farmasis juga bermain dgn dokter. Padahal pemilik industri itulah (yg notabene bukan farmasis) yg bermain. Sekretaris BPP ISFI berkata,"Kita cukup menggunakan jari2 sebelah tangan kita, untuk menghitung jumlah industri farmasi di
seluruh Indonesia yg dipimpin (dimiliki) oleh farmasis".
Nah, saya tunggu komentar anda sekalian.